Ramallah, NPC – Dengan perangkat ilmiah yang solid dan dokumentasi yang ketat, Academy of Refugee Studies terus berupaya mendokumentasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan hak rakyat Palestina untuk kembali ke tanah mereka dan hak-hak pengungsi Palestina di dalam daerah Palestina sendiri maupun dan diaspora luar negeri.
Proyek penelitian baru-baru ini yang dilakukan oleh Academy of Refugee Studies ialah peluncurkan buku ensiklopedia dengan judul “Ensiklopedia Desa Palestina”, yang merupakan proyek inisiatif Akademi of Refugee dan para alumninya. Penulisan ensiklopedia ini menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengumpulkan dan mendokumentasikan informasi.
Direktur Jenderal Academy of Refugee Studies, Muhammad Yasser Amro, menjelaskan bahwa dalam “Ensiklopedia Desa Palestina”, para peneliti memberi informasi yang terdokumentasi secara rinci tentang semua desa Palestina.
“Pada tahap pertama, ami mulai mengerjakan tentang desa-desa Palestina yang diduduki pada tahun 1948, yang masih ada atau sudah dihancurkan total oleh otoritas pendudukan Israel,” sebut Muhammad Yasser Amro.
Muhammad Yasser Amro mencatat bahwa jumlah desa-desa tersebut mencapai angka sekitar 500 desa Palestina.
“Kami mulai mendokumentasikan desa-desa yang diduduki pada tahun 1948. Pada fase kedua kami akan bekerja untuk mendokumentasikan desa-desa di Tepi Barat dan desa-desa di Jalur Gaza,” kata Muhammad Yasser Amro.
Ia menyatakan bahwa Academy of Refugee Studies bekerja untuk mendokumentasikan sejarah dan evaluasi yang akurat dari semua peristiwa sejarah desa Palestina, serta melakukan penelitian mendalam terkait hal tersebut. Hal ini dilakukan untuk memberikan atau menceritakan peristiwa sejarah penting setiap desa Palestina, terutama pembantaian yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel di desa-desa Palestina tersebut.
“Dokumentasi ditampilkan dengan istimewa melalui adanya foto lama, foto saat ini, film tentang setiap desa. kami menyediakan ensiklopedia dengan dokumen, peta, dan informasi yang tersedia di satu tempat, di satu halaman website, sehingga publik dapat melihat semuanya,” sebut Muhammad Yasser Amro.
Ia menjelaskan bahwa Ensiklopedia Desa Palestina ini memberikan ruang sejarah dan cerita masa kini desa, geografi, masa depan, masyarakat, dan di mana mereka berada sekarang.
Muhammad Yasser Amro menyatakan bahwa ensiklopedia tersebut mendokumentasikan kejahatan pemukiman Israel yang dilakukan di setiap desa Palestina, untuk menjadi referensi bagi para peneliti dan orang-orang yang tertarik untuk menghidupkan kembali memori sejarah Palestina dan membantah narasi Zionis yang telah merampok tanah Palesitina.
“Academy of Refugee bekerja untuk menyebarkan kesadaran tentang perjuangan bangsa Palestina, mendidik masyarakat tentang permasalah-permasalah, dan tentang narasi Palestina, dimulai dengan warisan dan sejarah Palestina. Ensiklopedia ini tidak berakhir dengan masalah rakyat dan hak-hak Palestina, seperti terkait tahanan, Yerusalem, pengungsi, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah tersebut,” kata Muhammad Yasser Amro.
Ensiklopedia Berharga
Direktur Umum Komisi 302 untuk Pertahanan Hak Pengungsi dan Peneliti urusan pengungsi, Ali Huwaidi, menegaskan bahwa “Ensiklopedia Desa Palestina” adalah salah satu proyek strategis yang memperkenalkan desa-desa Palestina, yang berusaha untuk memperkuat hubungan pengungsi Palestina dengan desa-desa mereka, yang sebagian besar telah dihancurkan oleh otoritas pendudukan Israel.
“Proyek ini bekerja untuk meningkatkan kesadaran para pengungsi Palestina. Tujuan lebih luasnya adalah untuk mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi di dunia Arab dan dunia Islam kita,” kata Ali Huwaidi.
Ia menyebutkan bahwa informasi dalam “Ensiklopedia Desa Palestina” akan menjadi hambatan dalam proyek otoritas pendudukan Israel yang berusaha merusak dan menghilangkan narasi Palestina dan menggantinya dengan narasi-narasi Zionis Israel.
“Informasi yang ada dalam ensiklopedia ini akan menjadi duri di tenggorokan proyek Zionis yang berusaha melenyapkan identitas Palestina, melenyapkan desa Palestina dan mengubah Namanya,” sebut Ali Huwaidi.
Ia menyebutkan bahwa otoritas pendudukan Israel berusaha untuk membubarkan atau menghilangkan ingatan para pengungsi Palestina tentang tempat asal mereka.
“Namun, adanya proyek ini dengan menyebutkan nama desa dan kepemilikannya yang sah atas identitas Palestina gagal mencapai tujuan otoritas pendudukan Israel tersebut,” kata Ali Huwaidi.
Ali Huwaidi menyebutkann bahwa proyek “Ensiklopedia Desa Palestina” tersebut, berdasarkan sepengetahuannya bergerak dan bertujuan untuk menceritakan tentang adat dan tradisi penduduk desa Palestina, memberikan dokumen, informasi, dan foto-foto mereka,” sebut Ali Huwaidi.
“Informasi yang terkandung dalam ensiklopedia ini bagi kami merupakan secercah harapan (pengungsi Palestina) untuk kembali (ke tanah Palestina) dengan yang lebih dekat. Kami mengatakan bahwa dengan adanya proyek ini, kami telah datang untuk kembali lebih dekat dari sebelumnya. Kami lebih optimis tentang hak untuk kembali ini segera akan tiba,” kata Ali Huwaidi.
Malapetaka Hari Nakba
Selama periode 1947-1949 merupakan titik balik utama dalam sejarah Palestina. Selama tahun 1948, lebih dari 80 persen orang Palestina harus melarikan diri dan diusir dari 80 persen tanah Palestina bersejarah, setelah direbut oleh gerakan Zionis, yang kemudian mendirikan negara yang disebut “Israel”. Palestina menggambarkan malapetaka 1948 sebagai “Nakba”.
Tanggal 15 Mei 1948, yang dikenal sebagai “Hari Nakba” bagi orang Palestina, tidak lain merupakan terjemahan dari tahun-tahun sebelumnya, di mana agenda Zionis dan Inggris, untuk mengusir orang-orang Palestina dari tanah mereka dan mendirikan negara Yahudi di atas tanah yang telah dirampas dari penduduk Palestina.
Nakba tidak dimulai hanya pada waktu itu. Tanggal itu hanyalah hari paling berdarah dan eksodus besar-besaran orang-orang Palestina dari tanah mereka. Ratusan ribu orang-orang Palestina dipindahkan ke kamp-kamp pengungsi di seluruh dunia.
Selama bertahun-tahun menjelang “Hari Nakba”, orang-orang Palestina menjadi target penganiayaan, penyiksaan, pemindahan, penjarahan tanah mereka, dan imigrasi Yahudi ke tanah mereka. Tindakan ini dilakukan dengan perencanaan gerakan Zionis global dan dengan bantuan Inggris, yang berusaha untuk mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina.
Menurut Mohsen Mohammad Saleh, profesor yang mengkhususkan diri dalam studi Palestina dan bekerja di Al-Zaytouna Center for Studies and Consultations di Beirut, bahwa rencana negara-negara kolonial, terutama Inggris, untuk mendirikan Negara Israel karena beberapa alasan.
Alasan lain, menurut Mohsen Mohammad Saleh adalah kegagalan orang Yahudi untuk berintegrasi ke dalam masyarakat dunia di mana mereka tinggal.
“Sejumlah orang Yahudi ingin memiliki tanah yang mereka kuasai dan tinggali dengan kewarganegaraan mereka sendiri, selain munculnya masalah Yahudi, terutama di Eropa Timur, di mana mereka menjadi sasaran penganiayaan, yang mendorong mereka untuk menuntut tempat yang aman dan negara bagi orang-orang Yahudi,” sebut Mohsen Mohammad Saleh.
Mohsen Mohammad Saleh yang memegang gelar doktor dalam sejarah modern dan kontemporer, mengatakan bahwa klaim hak historis orang Yahudi di tanah Palestina tidak konsisten dengan hak orang Arab Muslim atas tanah mereka.
“Orang-orang Palestina membangun tanah ini sekitar 1.500 tahun sebelum Israel mendirikan negara kuno mereka, yang dikenal sebagai Kerajaan Daud (Kerajaan David). Mereka bahkan terus membangunnya selama pemerintahan Israel,” kata Mohsen Mohammad Saleh.
Ia menyebutkan bahwa kekuasaan Islam adalah kekuasaan yang terpanjang yang menetap di tanah Palestina, karena berlangsung selama 1.200 tahun, yaitu sampai tahun 1917. Selanjutnya kemampuan orang-orang Yahudi secara praktis mempengaruhi pergerakan peristiwa di Palestina terputus.
“Selama sekitar 1.800 tahun, yaitu mulai dari tahun 135 M sampai abad kedua puluh, mereka tidak memiliki kehadiran politik atau budaya di dalamnya (tanah Palestina),” sebut Mohsen Mohammad Saleh.
Ia melanjutkan bahwa lebih dari 80 persen orang Yahudi kontemporer yang saat ini tinggal di tanah Palestina, menurut penelitian yang disiapkan oleh orang-orang Yahudi seperti Arthur Koestler, secara historis tidak memiliki hubungan apa pun dengan Palestina. Mereka ini tidak memiliki garis keturunan Bani Israel. Sebagian besar orang Yahudi saat ini adalah orang Yahudi Khazar atau Ashkenazi, yang merupakan suku Tatar Turki kuno, yang tinggal di Kaukasus utara. Mereka baru menjadi Yahudi pada abad kedelapan Masehi,” sebut Mohsen Mohammad Saleh.
Kolonialisasi Tanah Palestina
Pada tahun 1948, orang-orang Yahudi telah mendirikan 292 koloni di tanah Palestina. Mereka telah membentuk kekuatan militer dari organisasi Haganah, Irgun, dan Stern, yang berjumlah lebih dari 70.000 pejuang dan mereka siap untuk mendeklarasikan negara Israel.
Pada malam 14 Mei 1948, Israel mengumumkan pendirian negara di tanah Palestina. Mereka mampu mengalahkan tentara Arab dan merebut sekitar 77 persen wilayah Palestina atau sekitar 20 ribu kilometer persegi dan 770 ribu, dari luas total 27 ribu kilometer persegi.
Israel secara paksa mengusir 800.000 penduduk dari 925.000 penduduk Palestina, yang pada saat itu yang tinggal di tanah pendirian negara Israel.
Hingga tahun 1948, jumlah penduduk Palestina di seluruh tanah Palestina mencapai 1.400.000 jiwa.
Pada saat itu, Zionis Israel menghancurkan 478 desa Palestina, dari 585 desa yang berada di wilayah pendudukan dan mereka melakukan 34 “pembantaian”.
Mohsen Mohammad Saleh, mengatakan bahwa sebanyak 5.876 kilometer persegi tanah Tepi Barat, dianeksasi ke administrasi Yordania, sedangkan Jalur Gaza, dengan luas 363 kilometer persegi, dianeksasi ke pemerintahan Mesir.
Mohsen Mohammad Saleh menunjukkan bahwa Israel sejauh ini tidak mendefinisikan perbatasan politiknya dan tidak memiliki konstitusi tertulis. Hal ini menurutnya, melanggar spesifikasi yang paling nyata dari sebuah negara yang beradab dan modern.
(T.FJ/S: Palinfo, Anadolu Agency)