Tel Aviv, NPC – Israel baru saja, pada Senin (05/09/2022), mencabut aturan kontroversial yang menyebutkan bahwa warga negara asing yang mengunjungi Tepi Barat (Palestina yang diduduki) harus memberitahu tentang hubungan emosional romantis dengan penduduk Palestina di Tepi Barat, dalam waktu 30 hari. Aturan ini dicabut setelah mendapat tekanan dari pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden dan pemerintah Eropa.
Pembatalan ini juga mengubah aturan khusus terkait warga negara asing yang tinggal atau ingin mengunjungi Tepi Barat Palestina, dan menghapus pengaturan kuota khusus visa bagi dosen universitas dan mahasiswa dari luar negeri.
Perdana Menteri Palestina, Muhammad Shtayyeh, menggambarkan aturan tersebut sebagai tindakan rasis. Sedangkan otoritas pendudukan Israel mendukung aturan pembatasan perjalanan ke Tepi Barat dengan dalih keamanan.
Aturan Sebelumnya yang Kini Telah Dibatalkan
Sebelumnya, warga asing harus memberi tahu Kementerian Pertahanan Israel jika mereka jatuh cinta dengan orang Palestina yang tinggal di Tepi Barat yang diduduki, menurut aturan baru yang disahkan oleh Israel. Jika terjadi akad nikah antara warga negara asing dan warga negara Palestina di Tepi Barat, mereka harus meninggalkan Tepi Barat setelah 27 bulan untuk jangka waktu tidak kurang dari enam bulan.
Aturan ini dilakukan dalam rangka memperketat pembatasan terhadap warga negara asing yang tinggal atau ingin mengunjungi Tepi Barat. Penduduk Palestina dan lembaga hak asasi manusia Israel menuduh pemerintah Israel “memperketat pembatasan ke tingkat yang lebih lanjut” terhadap penduduk Palestina.
Aturan baru yang termuat dalam dokumen yang panjang, menyatakan bahwa warga negara asing harus melaporkan hubungan romantis dengan pemegang KTP Palestina kepada pihak berwenang Israel dalam waktu 30 hari sejak memulai hubungan pertunangan atau pernikahan.
Aturan tersebut juga termasuk upaya pembatasan pada universitas Palestina terkait pemberian visa kepada warga negara asing yang ingin belajar di wilayah Palestina, dengan catatan tidak melebihi 150 visa pelajar dan 100 visa untuk dosen asing, sementara tidak ada pembatasan sama sekali seperti ketika warga negara asing berkunjung atau ingin menetap di Israel.
Aturan baru diterbitkan dalam dokumen yang dirilis oleh COGAT. COGAT adalah Badan Kementerian Pertahanan Israel yang bertanggung jawab atas urusan sipil di wilayah Palestina. Perintah COGAT baru berjudul “Prosedur masuk dan tinggal bagi orang asing di wilayah Yudea dan Samaria”. Yudea dan Samaria merupakan nama historis yang digunakan Israel untuk penyebutan Tepi Barat.
Pembatasan dalam perjalanan dan menjalankan bisnis sudah diberlakukan bagi penduduk Palestina di Tepi Barat. Misalnya, penduduk permukiman Israel yang tinggal di Tepi Barat dapat melakukan perjalanan ke luar negeri dari bandara internasional utama Israel di dekat Tel Aviv, sementara sebagian besar penduduk Palestina dari wilayah Tepi Barat dilarang melakukannya. Penduduk Palestina malah harus melakukan penyeberangan darat dari Tepi Barat ke Yordania, sebelum naik pesawat di ibu kota negara tersebut, Amman.
Langkah-langkah tersebut dapat memengaruhi ribuan pasangan asing, serta warga Palestina yang tinggal di diaspora, pengusaha, akademisi, dan sukarelawan di Tepi Barat yang diduduki.
Aturan ini pertama kali diterbitkan pada bulan Februari, tetapi pengenalannya dilaporkan telah tertunda. Aturan baru tidak berlaku bagi mereka yang mengunjungi Israel.
Memperbaharui Aturan
COGAT telah menerbitkan dokumen baru yang telah diperbarui terkait aturan masuk dan tinggal bagi orang asing di wilayah Tepi Barat.
COGAT telah menghapus persyaratan bagi warga negara asing yang memulai hubungan dengan penduduk Tepi Barat setelah memasuki wilayah Palestina, untuk memberi tahu pihak berwenang Israel dalam waktu 30 hari setelah acara pertunangan atau pernikahan mereka.
Aturan yang diubah ini akan mulai berlaku pada 20 Oktober mendatang, setelah seharusnya mulai berlaku bulan ini untuk masa percobaan dua tahun. COGAT sudah menerbitkan aturan Februari lalu, yang seharusnya mulai berlaku Juli lalu, tetapi tertunda karena petisi yang diajukan ke Mahkamah Agung, kemudian diubah dan ditunda hingga Oktober.
Organisasi hak asasi manusia Israel, HaMoked, percaya bahwa teks yang diubah atau diperbaharui tersebut masih akan menyebabkan gangguan besar pada kehidupan keluarga Palestina.
“Masalah utama tetap, yaitu bahwa Israel akan mencegah ribuan keluarga (Palestina) hidup bersama jika salah satu pasangan mereka adalah warga negara asing, karena alasan politik yang jelas terkait dengan situasi demografis,” kata Jessica Montell, direktur eksekutif HaMoked.
Israel memperbaharui aturan tersebut di bawah tekanan dari pejabat Amerika Serikat dan Eropa, yang tetap masih menimbulkan kekhawatiran. Duta Besar AS Tom Niedes mengatakan bahwa dirinya masih memiliki kekhawatiran tentang aturan atau protokol yang diterbitkan.
“Sejak Februari, Kedutaan Besar AS di Yerusalem dan Kantor Urusan Palestina AS telah berkomunikasi secara luas dengan Pemerintah Israel mengenai rancangan aturan ini. Kami akan terus melakukannya dalam 45 hari sebelum penerapannya dan selama masa percobaan,” kata Tom Niedes dalam sebuah pernyataan.
Tom Niedes menekankan prihatin dengan aturan yang diterbitkan, termasuk mengenai peran COGAT dalam dalam menentukan apakah seseorang yang diundang oleh lembaga akademik Palestina memenuhi syarat untuk memasuki Tepi Barat dan memiliki dampak negatif pada keluarga Palestina.
Penolakan Palestina
Otoritas Palestina telah menolak aturan Israel dan pembaharuan yang dilakukan Israel. Perdana Menteri Palestina Muhammad Shtayyeh mengatakan, bahwa pembatasan Israel terkait mekanisme masuknya pemegang paspor asing ke wilayah Palestina adalah tindakan rasis.
“Ini bertujuan untuk melecehkan penduduk Palestina yang memegang kewarganegaraan internasional, terutama Amerika dan Eropa, serta pihak-pihak yang bersolidaritas dengan Palestina, mereka yang melakukan tugas kemanusiaan, karyawan perusahaan asing, termasuk dosen di berbagai universitas Palestina,” kata Muhammad Shtayyeh.
Shtayyeh meminta Amerika Serikat untuk tidak memberikan Israel hak untuk memasuki Amerika Serikat tanpa “visa”, jika Israel menerapkan langkah-langkah atau aturan pembatasan tersebut. Ia juga meminta Eropa untuk menekan otoritas pendudukan Israel untuk tidak mencegah warga Eropa mana pun yang ingin mengunjungi Palestina, terlepas dari akar nasional atau negaranya.
Dalam pembicaraannya dengan Israel, Amerika Serikat mengaitkan dokumen tersebut dengan kedatangan orang Israel ke Washington tanpa memperoleh visa. Dalam sebuah penyampaian kepada media Israel, seorang pejabat Amerika Serikat mengatakan bahwa Washington sedang memantau dengan efek dari aturan tersebut, yang akan memastikan transparansi dan perlakuan yang adil dan setara, terutama bagi semua warga negara Amerika yang bepergian ke Tepi Barat.
Komisi Uni Eropa menyatakan keprihatinannya terkait pembatasan yang dikenakan pada mahasiswa asing dan akademisi di universitas-universitas Palestina, ketika 366 mahasiswa dan guru Eropa pergi ke Tepi Barat pada tahun 2020 di bawah program pertukaran pelajar Erasmus. Sementara itu, 1.671 orang Eropa pergi ke institusi Israel tanpa hambatan. Komisi Eropa, Maria Gabriel, mengatakan bahwa akses mahasiswa Eropa ke universitas Palestina harus difasilitasi, bukan dihalangi.
(T.FJ/S: BBC Arabic, Aawsat)