Jalur Gaza, NPC – Yayasan Rumah Yatim Indonesia menggelar program orang tua asuh atau yang dikenal dengan Orta Yatim Palestina untuk 400 anak yatim di Jalur Gaza, Jum’at (25/01/2019).
Program ini menyediakan bantuan, baik bersifat moril atau materil kepada anak-anak yatim di seluruh wilayah Gaza hingga mereka menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.
Pembina Yayasan Nusantara Palestina Center (NPC), Abdillah Onim, mengatakan di tahap awal program ini menargetkan 150 anak yatim. Sebagian besar dari anak-anak yatim itu menjadi yatim karena kehilangan orang tua akibat perang.
“Di tahap awal program ini menargetkan 150 anak yatim. Sebagian besar dari mereka menjadi yatim karena kehilangan orangtua akibat perang,” kata Bang Onim sapaan akrab Abdillah Onim.
Aktivis kemanusiaan Indonesia yang telah bermukim di Gaza tersebut menyatakan, dalam waktu tiga bulan di akhir tahun 2018 lalu, santunan yatim program Orta tiap bulan oleh para peserta orang tua asuh memberikan santunan bulanan sebesar Rp.600.000 perbulan.
“Dalam waktu tiga bulan di akhir tahun 2018 lalu, santunan yatim program Orta tiap bulan oleh para peserta orang tua asuh memberikan santunan bulanan sebesar Rp.600.000 perbulan,” terangnya.
Ia menambahkan, jumlah anak yatim di jalur Gaza tercatat lebih dari 23.000 orang. Jumlah ini semakin bertambah karena seringnya pihak tentara Israel melakukan pembunuhan terhadap para bapak-bapak di Palestina, ditambah lagi tak sedikit dari mereka meninggal dunia karena menjadi korban perang atau agresi Israel atas Gaza baik itu pada tahun 2012, 2014 hingga akhir tahun 2018 silam.
“Jumlah anak yatim di jalur Gaza tercatat lebih dari 23.000 orang. Jumlah ini makin bertambah karena seringnya pihak tentara Israel melakukan pembunuhan terhadap para bapak-bapak di Palestina, ditambah lagi tak sedikit dari mereka meninggal dunia karena menjadi korban perang atau agresi Israel atas Gaza baik itu pada tahun 2012, 2014 hingga akhir tahun 2018 silam,” tambah Bang Onim.
Dengan kehadiran program ini, tidak sedikit dari peserta Orta yang bertanya tentang kemungkinan anak-anak yatim itu dibawa ke Indonesia untuk belajar dan kembali ke Palestina. Mendengar pertanyaan itu, Bang Onim menjelaskan bahwa problem ialah lantaran akses dari dan menuju Gaza ini sangat sulit karena Gaza masih dibawah blokade Israel. Dengan demikian, lanjutnya, siapapun untuk orang asing akan sangat sulit memasuki Gaza.
“Sebetulnya ide ini sudah saya sosialisasikan kepada keluarga anak yatim di Gaza sejak tahun 2010, akan tetapi kendalanya adalah akses dari dan menuju Gaza ini sangat sulitm karena Gaza masih dibawah blokade Israel, dengan demikian siapapun orang asing sangat sulit masuk Gaza, ini sudah kebijakan pihak Israel, sedangkan pemerintah Palestina tidak bisa berbuat banyak karena mereka masih dijajah dan diblokade,” jawab Abdillah Onim, jurnalis dan pendiri lembaga kemanusiaan Yayasan Nusantara Palestina Center.
Orta Yatim Palestina, sebelumnya sudah direalisasikan oleh Abdillah Onim pada bulan Mei 2017 dan hingga kini masih berlanjut. Awal jumlah peserta orta terhitung luar biasa bersemangat dalam pendaftaran, hingga jumlah peserta pendaftar pada Mei 2017 lebih dari 700 orang. Pada bulan pertama berjalan lancar, para peserta Orta menyatakan berkomitmen membayar santunan yatim tiap bulan. Namun di bulan kedua mulai ada yang off kontak dan tidak dapat dihubungi, di bulan ketiga perlahan minta pamit keluar dari peserta Orta yatim Palestina. DI bulan ke 6 jumlah peserta tinggal 400 orang. Hingga kini yang berkomitmen masih tersisa 240 orang peserta.
Semakin banyak permintaan pembukaan pendaftaran orang tua yatim Palestina, Yayasan Rumah Yatim bersedia untuk membuka kembali pendaftaran bagi peserta baru, program ini diberi nama Orta Yatim Palestina.
Puji syukur program ini sudah diluncurkan sejak 14 Februari 2019 yang lalu, di tahap awal jumlah peserta 250 orang yaitu 150 anak Yatim Gaza telah memiliki orang tua asuh di Indonesia. Ini adalah program jangka panjang untuk membantu dan menata kehidupan serta masa depan anak Yatim Palestina. Dengan santunan bulanan yang dibayar oleh orang tua asuh, maka anak yatim di Gaza akan menggunakan uang tersebut untuk beli baju, buku, tas, perlengkapan sekolah, transportasi ke sekolah, biaya berobat dan biaya kuliah bagi anak yatim yang sudah masuk kuliah.
Tak dipungkiri kedepan jika anak asuh ini memiliki nilai predikat yang tinggi baik di SMA maupun diperguruan tinggi, mereka bisa melanjutkan kuliah di Indonesia dan dapat bertemu langsung dengan sang orang tua asuhnya di Indonesia, insya Allah.
Melalui tulisan, anak-anak yatim itu menyampaikan apresiasi kepada Yayasan Rumah Yatim serta pihak-pihak yang memberikan mereka sumbangan dan uluran tangan dari Indonesia.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mendukung perjuangan rakyat Palestina baik di bidang politik maupun kemanusiaan khususnya di Jalur Gaza.
Setiap empat bulan atau lima bulan sekali peserta orang tua asuh akan menerima dokumentasi berupa foto serah terima santunan, laporan perkembangan anak asuh dari segi hafalan, kesehatan, nilai ujian dan kabar anak yatim. Bahkan Anak yatim menulis surat cinta kepada orang tua asunya dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Tentu tidak mudah menjalankan program ini karena membutuhkan tim, waktu, tenaga, ide dan talenta dalam mengelola program anak yatim ini. Puji syukur, kami telah memiliki tim khusus di Gaza yang bertugas mengelola dan memonitoring jalannya program ini, bagi kami ini program luar biasa karena kita telah ikut berpartisipasi aktif mendidik generasi Palestina yaitu anak yatim untuk mandiri dan memiliki masa depan layaknya anak-anak di Indonesia.
Gaza Selayang Pandang
Jalur Gaza adalah wilayah yang terisoliasi akibat blokade Israel sejak 12 tahun silam. Di masa itu, tanah kelahiran Imam Syafi’i tersebut hancur lebur akibat tiga perang besar, yakni pada tahun 2009, 2012 serta 2014. Seluruh lini kehidupan baik di bidang ekonomi, sosial atau medis lumpuh.
Awal 2018 lalu, Sekjen PBB, Antonio Guterres bahkan telah menegaskan bahwa Gaza yang memiliki populasi dua juta jiwa tersebut akan menjadi wilayah tak layak huni pada tahun 2020.
Sementara itu Profesor Hubungan Internasional Universitas Oxford, Avi Shlaim mengatakan bahwa Israel telah mengubah Jalur Gaza menjadi penjara terbesar di dunia.
Dalam sebuah artikel yang dirilis The Guardian dalam peringatan 10 tahun operasi “Cast Leads”, sejarawan Yahudi tersebut mengatakan bahwa sampai saat ini pemerintah Israel masih menggunakan cara-cara brutal dalam menghadapi warga Gaza.
Salah satu krisis yang mendera Gaza adalah di bidang medis dan kesehatan terutama terkait krisis listrik dan obat-obatan serta peralatan medis.
Dr. Ashraf Qaddoura, dalam konferensi pers yang dilansir di akun Facebook-nya, Selasa (15/01/2018), menjelaskan bahwa krisis bahan bakar yang terus berlanjut di Gaza akan menghentikan generator yang menyuplai listrik ke rumah sakit Gaza. Situasi ini akan berdampak langsung terhadap pasien.
Juru Bicara Menteri Kesehatan Gaza tersebut juga menambahkan bahwa krisis listrik akan membahayakan nyawa 800 pasien gagal ginjal dan 30 anak-anak.