Oleh: Andy Rachmianto
Dubes Republik Indonesia untuk Yordania dan Negara Palestina
Dalam kesempatan rapat koordinasi bersama semua duta besar Indonesia dan para kepala misi yang diadakan di Jakarta pada bulan Februari 2018, Presiden Indonesia Joko Widodo, antara lain, menggarisbawahi bahwa sebagai negara berpendapatan menengah, sudah saatnya Indonesia membantu negara-negara lain yang menghadapi bencana kemanusiaan. Karena itu, presiden menginstruksikan bahwa diplomasi kemanusiaan perlu diaktifkan guna menghadapi krisis akibat konflik dan untuk memelihara perdamaian dunia.
Salah satu negara yang cocok untuk pelaksanaan diplomasi kemanusiaan Indonesia adalah Yordania. Sebagai negara yang berbatasan dengan negara-negara bermasalah, seperti Palestina, Irak, dan Suriah, tidak dapat dipungkiri bahwa Yordania telah menjadi negara yang menampung banyak pengungsi di Timur Tengah.
Dengan populasi hampir 10 juta jiwa, 4 juta pengungsi dari Palestina, Suriah, Irak, Libya dan Yaman tinggal di Yordania. Dari jumlah ini, ada 2,3 juta warga Palestina yang telah tinggal di kamp-kamp pengungsi sejak 1948 dan 1967. Sementara itu, sekitar 1,3 juta pengungsi Suriah yang datang sejak momok konflik di Suriah dimulai pada 2011. Dengan demikian, dua badan PBB yang bertanggung jawab atas pengungsi, yaitu UNRWA dan UNHCR, telah dilengkapi dengan jaringan kelembagaan dan operasional yang luas di Yordania. UNRWA telah beroperasi sejak didirikan pada tahun 1949 untuk menangani krisis pengungsi Palestina, yang telah diusir saat perang Arab-Israel 1948.
Meskipun banyak lembaga internasional, lembaga keuangan, dan negara-negara donor menjanjikan bantuan mereka untuk membantu Yordania dalam menangani masalah pengungsi, namun faktanya bahwa tidak semua bantuan asing yang dijanjikan untuk Yordania terwujud. Sebagai bagian dari Jordan Response Plan (JRP), dari total kebutuhan pendanaan yang diperkirakan $ 2,517 miliar untuk tahun 2018, JRP hanya menerima $ 419,89 juta.
Sebagai konsekuensinya, sekitar seperempat dari anggaran Yordanian dialokasikan untuk menangani masalah-masalah pengungsi di negara tersebut. Upaya untuk menangani para pengungsi, khususnya Palestina, semakin sulit menyusul keputusan AS untuk memotong hampir setengah dari kontribusinya terhadap anggaran tahunan UNRWA tahun lalu.
Sejalan dengan arahan Presiden Widodo, Indonesia, melalui perwakilannya di Yordania, telah mengambil sejumlah langkah untuk mengurangi beban pemerintah Yordania dalam menanggapi kebutuhan sejumlah besar pengungsi, terutama mereka yang berasal dari Palestina dan Suriah. Dengan pendekatan keterlibatan aktif, salah satu langkah yang diambil adalah seruan kepada berbagai komponen dalam masyarakat, lembaga kemanusiaan dan organisasi masyarakat sipil untuk peduli terhadap nasib jutaan pengungsi di Yordania. Selain itu, membuka jaringan kolaborasi dan kemitraan dengan badan-badan kemanusiaan PBB yang relevan, seperti UNRWA, UNHCR dan Organisasi Amal Yordania Hashemite (JHCO), juga telah dilakukan.
Pada akhirnya, kampanye dan seruan ini diarahkan ke semua lapisan masyarakat di Indonesia sebagai bagian dari diplomasi kemanusiaan yang membuahkan hasil. Beberapa kalangan dalam masyarakat, seperti dermawan, lembaga akademis, organisasi masyarakat sipil, dan seniman, telah terlibat dan berpartisipasi sebagai aktor dalam diplomasi kemanusiaan di Yordania. Ada minat yang meningkat selama dua tahun terakhir di kalangan tersebut untuk menyalurkan sumbangan dan bantuan mereka kepada para pengungsi di Yordania.
Sebagai contoh, Dato’ Sri Tahir, seorang filantropis Indonesia, diangkat pada tahun 2016 sebagai advokat terkemuka untuk UNHCR untuk membantu para pengungsi Suriah di wilayah tersebut. Dia telah melakukan banyak kunjungan ke berbagai kamp pengungsi Suriah di Yordania selama dua tahun terakhir. Sebagai ketua Yayasan Tahir, ia menyumbangkan lebih dari $ 10 juta untuk para pengungsi Suriah di Yordania dan negara-negara lain di wilayah itu.
Situasi serius dan memburuk di Palestina, baik di Tepi Barat dan Gaza, yang disebabkan oleh pendudukan dan blokade Israel yang terus-menerus, juga telah menarik perhatian banyak organisasi dan individu yang murah hati di Indonesia untuk meringankan penderitaan saudara-saudari Palestina mereka. Kontribusi ini sebenarnya merupakan bentuk dukungan Indonesia yang tak tergoyahkan terhadap perjuangan rakyat Palestina menuju kemerdekaan mereka dan memerangi pendudukan ilegal Israel.
Pada kesempatan “Pekan Solidaritas untuk Palestina”, yang diadakan di Jakarta Oktober lalu, Badan Amil Zakat Nasional Indonesia telah menandatangani nota kesepahaman dengan UNRWA dan JHCO untuk menyalurkan dana zakat yang terkumpul kepada para pengungsi Palestina dan Suriah di Yordania. Pemanfaatan dana zakat ini adalah model pertama yang diprakarsai oleh Indonesia, dan, semoga, ini akan menginspirasi donor dari negara-negara Islam lainnya untuk melakukan hal yang sama dan menggunakan dana zakat dan wakaf (dana abadi) untuk membantu para pengungsi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), selama kunjungannya ke Amman tahun lalu, juga telah menyumbangkan dana untuk proyek pemberdayaan perempuan dan anak-anak di Yerusalem. Saat ini, MUI sedang melakukan kampanye penggalangan dana publik untuk membangun rumah sakit rehabilitasi di Hebron. Jika terbangun, ini akan menjadi rumah sakit kedua yang dimungkinkan oleh kontribusi dan sumbangan dari dana publik di Indonesia, seperti yang didirikan di Gaza pada 2010.
Penyanyi dan artis religius Indonesia, seperti Opick Tombo Ati dan Dick Doang, juga membantu para pengungsi di tanah para nabi. Pada kunjungan terakhir mereka ke Yordania pada Januari 2019, mereka menyerahkan sumbangan berupa uang tunai kepada UNRWA-Jordan, dan mengunjungi kamp pengungsi Gaza di Jerash. Donasi ini, yang dikumpulkan dari konser musik mereka, adalah dana awal yang dialokasikan untuk serangkaian proyek kolaborasi dengan UNRWA dengan maksud untuk membawa lebih banyak selebriti Indonesia ke dalam proyek ini.
Relawan kemanusiaan Indonesia, Abdullah Onim yang telah tinggal di Gaza sejak 2008, juga telah berperan sebagai aktor diplomasi kemanusiaan di Gaza. Melalui organisasinya, Yayasan Nusantara Palestina Center, Onim, yang menikahi seorang wanita Palestina di Gaza, telah menjadi agen untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan dari Indonesia kepada rakyat Gaza. Melalui bantuannya, sumbangan senilai jutaan dolar dari berbagai kalangan di Indonesia telah dicairkan untuk mengurangi penderitaan dua juta warga Palestina di Gaza, yang telah dikepung Israel sejak 2008.
Organisasi masyarakat sipil lainnya, lembaga akademis dan lembaga kemanusiaan, seperti Pramuka Indonesia, Universitas Brawidjaja, Universitas Hasanuddin, Aksi Tanggap Cepat, Daarut Tauhid dan Rumah Zakat, telah menjadi aktor kemanusiaan di banyak kamp pengungsi. Peran mereka sangat penting dalam membawa bantuan Indonesia kepada jutaan pengungsi yang sangat menderita di berbagai kamp, khususnya di Yordania dan Palestina.
Angka menunjukkan bahwa selama periode 2017-2019, total $ 4,5 juta dalam sumbangan dan dana telah dikumpulkan dari berbagai kalangan masyarakat di Indonesia dan didedikasikan untuk para pengungsi Palestina. Bantuan kemanusiaan ini telah didistribusikan secara langsung ke sejumlah kamp pengungsi di Yordania atau disalurkan ke mereka melalui UNRWA dan JHCO.
Pengalaman tersebut sebenarnya merupakan bentuk keberpihakan dan keterlibatan berbagai komponen masyarakat, lembaga akademik dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia dalam mendistribusikan dan menyalurkan bantuan kemanusiaan. Mengingat anggaran pemerintah terbatas, sebagai akibat dari beberapa bencana alam baru-baru ini di Indonesia yang juga membutuhkan bantuan, peran aktor non-negara telah menjadi mitra strategis dalam mengumpulkan dan menyalurkan bantuan kemanusiaan.
Selain itu, ini juga mengakui peran penting aktor non-negara sebagai mitra pemerintah dalam melakukan diplomasi kemanusiaan yang didedikasikan untuk jutaan pengungsi, terutama di Yordania dan Palestina. Aktivisme diplomasi kemanusiaan semacam ini, semoga, dapat mendukung keanggotaan tidak tetap Indonesia di Dewan Keamanan PBB untuk 2019-2020.
Sumber: http://jordantimes.com/opinion/andy-rachmianto/non-state-actors-indonesias-humanitarian-diplomacy-jordan