Gaza, NPC – Harga bahan pokok seperti roti, daging, dan telur telah melonjak sejak konflik Rusia-Ukraina di daerah kantong Palestina yang telah dihancurkan oleh perang dan pengepungan Israel.
“Kau lihat roti ini?” Abu Ahmed al-Madhoun bertanya sambil memegang seikat roti di toko roti Alailat di lingkungan al-Nasr di barat laut Kota Gaza.
“Dulu ukurannya dua kali lipat beberapa bulan yang lalu. Hari ini, tidak hanya lebih kecil tetapi juga lebih mahal,” kata ayah lima anak Palestina itu kepada Middle East Eye dengan cemas.
Madhoun tidak sendirian dalam perjuangannya untuk menemukan makanan yang terjangkau di Jalur Gaza yang terblokade.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina, warga Palestina telah menghadapi krisis pangan yang terus meningkat.
Yang paling terpukul adalah keluarga miskin yang hampir tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka bahkan sebelum dampak konflik sampai kepada mereka.
Ekonomi Gaza sudah hancur oleh blokade Israel selama 15 tahun, yang secara besar-besaran berdampak pada daya beli penduduk, semantara kenaikan harga baru-baru ini hanya akan memperburuk keadaan.
Harga Roti Naik
Pada bulan April, Oxfam memperingatkan bahwa cadangan tepung terigu di wilayah Palestina dapat habis dalam waktu tiga minggu. Oxfam menambahkan bahwa biaya gandum telah melonjak sebesar 25 persen.
“Banyak keluarga makan lebih sedikit dan makanan berkualitas lebih rendah. Keluarga memotong makanan yang lebih mahal seperti buah, daging, dan ayam yang diperlukan untuk diet sehat,” kata Oxfam dalam sebuah pernyataan.
Madhoun, yang bekerja sebagai pelayan dan menerima gaji 1.000 Shekel ($290) per bulan, merasakan dampak kenaikan harga secara langsung.
“Dulu seikat roti seharga tujuh Shekel ($2) dan bertahan selama sekitar empat hari. Sekarang harganya delapan Shekel dan hanya bertahan selama dua hari,” kata pria berusia 46 tahun itu.
Perang Rusia-Ukraina juga mempengaruhi makanan pokok lainnya.
Di seluruh wilayah Palestina, tepung terigu naik 23,6 persen, minyak jagung 26,3 persen, lentil 17,6 persen, dan garam meja naik 30 persen, menurut Program Pangan Dunia (WFP).
Pada 15 Mei, Kementerian Ekonomi yang dikelola Hamas di Jalur Gaza mengumumkan kenaikan harga tepung dan roti karena kenaikan harga gandum yang “belum pernah terjadi sebelumnya” dan kegagalan Kementerian Keuangan yang dikelola Otoritas Palestina di Ramallah memasukkan Gaza dalam pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) gandum.
Menteri Ekonomi Nasional Palestina di Ramallah, Khaled al-Assili, membantah klaim tersebut, ia menjelaskan bahwa keputusan Kementerian Keuangan termasuk importir Palestina di Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza.
“Keputusan ini menyatakan bahwa apa yang dikumpulkan dari importir gandum dan tepung terdaftar dikembalikan kepada mereka setelah tiga bulan, sesuai dengan keputusan yang diumumkan pada akhir Maret, dan belum tiga bulan sejak keputusan itu dikeluarkan, ” katanya kepada surat kabar al-Ayyam yang berbasis di Ramallah.
Bisnis lumpuh
Abduldayed Awwad, manajer Perusahaan Pabrik al-Salam, mengatakan kepada MEE bahwa perusahaannya telah mengajukan permohonan pembebasan pajak kepada Kementerian Keuangan di Ramallah dan masih menunggu tanggapan.
“Kami sangat terpengaruh oleh kenaikan harga. Sejauh ini, kami telah memberhentikan sekitar 50 persen pekerja dan karyawan kami karena kami tidak mampu membayar gaji bulanan mereka,” katanya.
“Pabrik kami saat ini bekerja dengan kapasitas sekitar lima hingga 10 persen, dan kami tidak dapat menjual produk kami dalam tiga bulan terakhir karena pasar sekarang bergantung pada gandum Mesir karena dibebaskan dari pajak pertambahan nilai, dan dengan demikian lebih murah daripada gandum Palestina.”
Awwad menambahkan bahwa harga satu ton tepung telah meningkat dari $360 menjadi $550 sejak pecahnya perang Ukraina.
Tetapi bahkan sebelum Rusia menginvasi Ukraina, bisnis di Gaza sudah merasa hancur oleh efek mencekik dari blokade dan berjuang untuk pulih dari dampak serangan 11 hari Israel di Jalur Gaza pada Mei 2021.
Akibat serangan militer tersebut, sekitar 1.500 bangunan ekonomi hancur atau rusak, dengan total kerugian dan kerusakan mencapai $479 juta.
Krisis juga mempengaruhi harga daging, telur, dan ayam. Hal ini membuat sebagian besar penduduk Gaza tidak mampu membelinya.
“Dalam dua bulan terakhir, harga ayam mencapai sekitar 17 Shekel ($5) per kilogram, bukan hanya 11 ($3,2),” Ahmed Shaer, 40, seorang penduduk kamp pengungsi al-Shati di barat Gaza, mengatakan kepada MEE.
“Selama periode ini, saya pribadi tidak mampu membeli ayam untuk keluarga saya, jadi kami menjadi vegetarian untuk beberapa waktu,” tambah si tukang kayu sambil tertawa.
Biaya ayam telah didorong oleh kenaikan harga pakan ternak, yang terbuat dari gandum.
Pada awal 2022, 64 persen dari mereka yang tinggal di Jalur Gaza menderita kerawanan pangan, dibandingkan dengan sembilan persen di Tepi Barat, menurut angka WFP.
“Sebelum krisis, saya biasa membeli satu ayam seminggu untuk keluarga saya yang terdiri dari enam orang. Sekarang saya membeli satu ayam setiap sepuluh hari,” kata Shaer.
Tingkat pengangguran di Gaza kira-kira 50,2 persen dan lebih dari separuh penduduknya hidup dalam kemiskinan.
Ketika konflik di Ukraina memasuki bulan keempat, krisis ekonomi yang diakibatkannya di Gaza tampaknya belum berakhir.
Tetapi solusi harus ditemukan dengan cepat, Madhoun memperingatkan.
“Roti adalah elemen utama dari makanan apa pun di komunitas Palestina. Kami tidak bisa hidup tanpa roti,” katanya.
“Tidak peduli berapa harganya naik, kita harus mencari cara untuk membelinya.”
Sumber: middleeasteye.net/