Gaza, NPC – Tentara Israel, sebagaimana dilaporkan lembaga HAM internasional, Euro-Med Monitor, pada Minggu (17/03/2024), secara sistematis menargetkan dan membunuh puluhan programmer, pakar teknologi informasi, dan pekerja di bidang teknik computer. Israel juga menghancurkan kantor pusat perusahaan teknologi informasi tempat mereka bekerja. Ini adalah bagian lainnya dari kejahatan genosida yang masih sedang terjadi di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Sejak awal serangan besar-besaran di Gaza, tentara Israel telah membunuh ratusan tenaga ahli yang memiliki kecerdasan dan keahlian di Jalur Gaza, terutama para ahli teknologi informasi, pemrograman, dan teknik komputer, serta para pakar lainnya seperti dokter, profesor, para akademisi, dan lain-lain.
Euro-Med Human Rights Monitor menyusun daftar spesialis teknologi, termasuk para ahli pemrograman dan kecerdasan buatan, yang dibunuh secara langsung oleh serangan Israel yang masih sedang berlangsung hingga saat ini.
Di antaranya adalah insinyur pemrograman terkenal Haitham Muhammad Al-Nabahin, yang dianggap sebagai salah satu spesialis teknik komputer paling berprestasi di Jalur Gaza. Ia bersama istrinya, Nasma Zuhair Sadiq, tewas dalam serangan udara Israel di sebuah rumah di kamp pengungsi Bureij di Jalur Gaza tengah pada 14 Maret.
Seorang kerabat Nabahin mengatakan kepada Euro-Med Monitor bahwa ia dan keluarganya baru saja melarikan diri ke sebuah rumah di Rafah. Namun, kedua anak Nabahin, Layan dan Muhammad dibunuh, dan istrinya mengalami luka-luka dalam serangan Israel yang memaksa mereka untuk melarikan diri sekali lagi. Mereka kemudian memilih mengungsi ke sebuah rumah di kamp Bureij. Akhirnya tentara Israel membunuh mereka kira-kira dua minggu kemudian.
Berdasarkan keterangan kerabatnya, Nabahin telah membayar mahal agar namanya dan istrinya dimasukkan dalam daftar koordinasi bagi individu yang ingin meninggalkan Jalur Gaza melalui Perbatasan Rafah dengan Mesir untuk merawat istrinya yang mengalami luka-luka ke luar negeri, sebelum mereka berdua dibunuh dalam serangan Israel.
Alumni American Hubert H. Humphrey Fellowship Program, Tariq Thabet, juga dibunuh pada tanggal 31 Oktober 2023 dalam serangan udara Israel yang juga merenggut nyawa istri, anak, orang tua, dan anggota keluarga lainnya. Thabet adalah direktur Program Inkubator Teknologi UCAS di University College di Jalur Gaza.
Pendiri DITS dan seorang insinyur perangkat lunak yang berspesialisasi dalam pemrograman situs web dan aplikasi ponsel pintar (sebagai pengembang utama), Baraa Abdullah Al-Saqqa, juga dibunuh dalam serangan udara serupa Israel pada 21 November 2023. Ia memegang posisi penting di berbagai industri khususnya bisnis, seperti menjadi kepala urusan teknologi (CTO). Selain itu, ia aktif memberikan kursus pemrograman dan workshop.
Selain menjadi mahasiswa program magister teknik komputer dengan fokus kecerdasan buatan, Baraa Abdullah Al-Saqqa dianggap sebagai salah satu programmer muda terkemuka di Gaza. Ia diakui atas usahanya dalam melatih banyak karyawan baru di bidang teknis dan dianugerahi berbagai sertifikat dan penghargaan. Saqqa dibunuh dalam serangan udara Israel di rumah keluarganya di Kota Gaza, bersama istrinya yang sedang hamil dan mertuanya.
Daftar para tenaga ahli teknologi yang dibunuh tersebut mencakup Muhammad Al-Athal yang dibunuh pada 26 Oktober 2023, Hamza Al-Shami pada 2 November 2023, Obaida Khater pada 20 Desember 2023, Anas Al-Sheikh pada 9 Desember 2023, dan Abdel Rahman Hamada pada 15 Maret. Israel juga membunuh kelompok programmer muda lainnya, termasuk Rami Al-Sousi, Abdel Hamid Al-Fayoumi, Bilal Zaqout, Ahmed Nidal Qaddoura, Muhammad Hassouna, dan lain-lain.
Israel melakukan penghancuran luas pada sektor teknologi dan infrastruktur terkait. Euro-Med Monitor mendokumentasikan bahwa tentara Israel melancarkan serangan langsung dan menghancurkan yang menargetkan kantor pusat startup yang berspesialisasi dalam teknologi informasi dan perusahaan kemitraan di Jalur Gaza.
Sektor teknologi di Jalur Gaza rusak parah, kantor pusat perusahaan komunikasi dan infrastruktur lainnya hancur. Banyak pekerja teknis juga terbunuh, sehingga sangat mengganggu upaya untuk terus bekerja dan berinovasi di sektor penting ini, yang dipandang sebagai tulang punggung semua sektor ekonomi lainnya serta transformasi digital.
Sekitar 65 bisnis yang bergerak di berbagai bidang teknologi, termasuk perangkat lunak, peralatan teknis, konsultasi, pelatihan teknis, komunikasi, dan bidang terkait lainnya, beroperasi di Jalur Gaza sebelum serangan militer Israel. Bisnis-bisnis ini mempekerjakan ribuan anak muda dan lulusan-lulusan baru terbaik dari Jalur Gaza.
Berdasarkan perkiraan awal Euro-Med Monitor, kantor pusat program dan perusahaan teknologi infomasi hampir hancur total, sementara enam bisnis terkait di Jalur Gaza rusak. Semua pusat teknologi, termasuk yang berafiliasi dengan universitas-universitas di Jalur Gaza, rusak parah dan terpaksa ditutup.
Kejahatan Israel yang menargetkan dan membunuh para ahli Palestina, serta penghancuran bisnis dan infrastruktur secara luas yang dilakukan secara sengaja, tidak hanya akan merusak sistem ilmu pengetahuan, pendidikan, dan ekonomi di Jalur Gaza tetapi juga menghambat pembangunan masyarakat Palestina di Jalur Gaza secara umum.
Kejahatan ini juga menghilangkan sektor-sektor vital Jalur Gaza dari individu-individu berkualifikasi tinggi yang akan sulit digantikan. Kejahatan-kejahatan ini akan menimbulkan ketakutan dan paksaan di antara para ahli dan pakar yang masih tetap tinggal, sehingga memaksa mereka untuk pindah dari Jalur Gaza.
Kejahatan-kejahatan ini merupakan bagian dari kebijakan publik Israel yang bertujuan membuat Jalur Gaza tidak dapat dihuni dengan menghancurkan struktur dasar kehidupan dan menghilangkan berbagai ahli di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini tentu saja akan menyebabkan masyarakat yang lumpuh tidak mampu pulih dengan cepat dari dampak buruk kejahatan serius Israel yang dilakukan pada periode tersebut pada masa mendatang.
Membunuh penduduk sipil, merencanakan serangan terhadap sasaran sipil, dan menyebabkan kerusakan bangunan sipil yang parah sambil mengabaikan hukum humaniter internasional semuanya dianggap sebagai kejahatan perang dan pelanggaran berat berdasarkan Konvensi Jenewa dan Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional. Israel mengabaikan ini semua tanpa mendapatkan intervensi dari masyarakat internasional, terutama Amerika Serikat.
Sejak tanggal 7 Oktober hingga saat ini, dengan dukungan Amerika dan Eropa, tentara Israel masih terus melanjutkan agresi terhadap Jalur Gaza dan juga melakukan serangan di berbagai kawasan di Tepi Barat. Pesawat tempur Israel mengebom kawasan di sekitar rumah sakit, gedung, apartemen, dan rumah penduduk sipil Palestina. Israel juga mencegah dan memblokade masuknya air, makanan, obat-obatan, dan bahan bakar ke Jalur Gaza.
Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, pada Selasa (19/03), mengumumkan bahwa jumlah korban jiwa akibat pemboman Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu telah meningkat menjadi 31.819 orang dan 73.934 lainnya mengalami luka-luka, di mana mayoritas korban korban jiwa pemboman Israel adalah anak-anak dan perempuan.
Sementara itu, berdasarkan laporan pihak berwenang Jalur Gaza dan organisasi internasional, lebih dari 85 persen atau sekitar 1,9 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza terpaksa harus mengungsi setelah kehilangan tempat tinggal dan penghidupan akibat pemboman Israel.
(T.FJ/S: Euro-Med Monitor)