Ramallah, NPC – “Jalan Kematian”, sebuah nama yang diberikan Salma Qaddoumi, salah satu pengungsi dari Rumah Sakit Al-Quds, Bulan Sabit Merah yang menjadi saksi kekejaman tentara Israel saat mengungsi ke selatan Gaza.
Penderitaan dan pelecehan yang dialami pengungsi Palestina di Jalan Salahuddin yang menghubungkan Gaza Utara dan Selatan membantah klaim Israel bahwa jalur tersebut: “Jalur Kemanusiaan.”
Dilansir surat kabar resmi pemerintah Palestina, Wafanews, Senin (20/11/2023), Al-Qaddoumi menuturkan: “Kami bersama beberapa korban luka-luka terpaksa meninggalkan rumah sakit akibat serangan bom Israel menuju ke selatan Jalur Gaza melalui jalan Salahuddin, melewati jalur yang ditentukan Israel. Tak ada yang boleh berkendara, kami hanya dapat berjalan kaki.”
“Ratusan rakyat Palestina tak punya pilihan kecuali mengikuti instruksi Israel, sebagian membawa anak-anak dan pakaian seadanya. Kami berjalan melewati moncong tank-tank Israel yang mengepung dari berbagai penjuru. Jarsak yang kami tempuh sekitar 14 Km dan memakan waktu 10 jam dengan berjalan kaki. Waktu tempuh berbeda-beda tergantung destinasi yang dituju dan kondisi jalan. Namun, orang tua dan anak-anak membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke lokasi tujuan.”
“Kami sempat berhenti di salah satu check point selama 1.5 jam. Di sana para gadis dan wanita mengalami pelecehan dari prajurit Israel. Sebagian prajurit juga mencuri perhiasan para pengungsi. Beberapa pengungsi bahkan dipaksa melepas pakaian di tengah cuaca dingin dan itu terjadi di depan mata kami semua.”
Qaddoumi tinggal di salah satu rumah di Jalur Gaza dan terpaksa mengungsi setelah Israel menghancurkan rumahnya. Bersama 10 anggota keluarganya Qaddoumi mengungsi ke rumah sakit Al-Quds.
“Saat di rumah sakit kami tinggal bersama 15.000 pengungsi lainnnya selama beberapa hari. Kami hidup dalam kondisi sulit, tanpa pasokan makanan dan air. Kondisi semakin berat saat rumah sakit mendapatkan peringatan serangan udara. Kami ketakutan karena kami tahu bahwa Israel akan menyerang rumah sakit seperti yang terjadi diAl- Ahli Arabi.”
Rumah sakit Al-Quds dikepung selama 20 hari, disusul pemutusan air dan listrik secara total. Wilayah sekitar diserang dengan pesawat tempur. Melihat kondisi mengerikan ini, kami menyampaikan permohonan bantuan melalui media sosial. Bulan Sabit Merah yang meminta kami menunggu hingga situasi reda.”
Di pagi hari Senin, Bulan Sabit Merah menyampaikan bahwa Israel telah membuka jalur aman menuju selatan. Kami pun keluar dari rumah sakit sambil mengangkat bendera putih. Setelah berjalan 50 meter dari Rumah Sakit, pasukan Israel menembaki kami dengan peluru tajam, kami terpaksa kembali masuk ke rumah sakit.
Beberapa saat kemudian kami diberitahu untuk berjalan dari belakang gedung Tel Hawa menuju Jalan Salahuddin sambil berjalan kaki. Kami berjalan bersama korban luka-luka, anak-anak dan lansia.
Kami berjalan selama 2 jam, lalu sniper Israel mulai menargetkan pengungsi setelah kami tiba di jalan Salahuddin. Kami melewati tank-tank Israel yang terparkir di pinggir jalan.
Kami merasa sangat terhina saat pasukan Israel melempari kami dengan tanah lalu meminta kami mengangkat KTP kami. Mereka memanggil sebagian pengungsi dan memerintahkan beberapa remaja untuk membuka baju di depan kami.
Saya dan beberapa teman juga diperintahkan masuk ke dalam sebuah lubang, kami lalu diperiksa oleh IDF, saya lalu dipisahkan dari anggota keluarga.
IDF juga melakukan pemeriksaan terhadap paramedis dan personel Bulan Sabit Merah. Mereka menangkap Dr. Aala’ Miqdas. Kami meyaksikan mereka menembak seorang remaja Palestina. Enam remaja juga diancam dengan senjata lalu dipaksa membungkuk di depan bendera Israel.
Rumah Sakit Al-Quds dinyatakan non-aktif sejak Ahad lalu, akibat kehabisan bahan bakar disusul terputusnya aliran listrik dan pengepungan tank IDF.
(T.RS/S:Wafanews)